Apa itu MMT (Modern Monetary Theory)?

Pernahkah Kamu bertanya-tanya, kenapa Pemerintah Indonesia sering berhutang ke luar negeri untuk membangun infrastruktur yang padahal hampir semua sumber daya-nya dari Indonesia?

Kita punya pabrik semen dan beton besar dengan kualitas yang bagus; Semen Indonesia, Wijaya Beton, Indocement, dll
Kita punya perusahaan kontruksi kualitas internasional; PT Adhi Karya, PT PP, PT Wijaya Karya, dll
Kita punya pabrik baja, Pabrik pengolahan kayu, Pabrik kaca, dan kebutuhan konstruksi lainnya.

Dari sisi sumber daya alam, Indonesia juara di banyak aspek. Hampir semua kekayaan alam mineral ada di bumi pertiwi.

Lalu, kenapa untuk membangun proyek konstruksi seperti jalan raya, jalan tol, jembatan, atau rumah susun, harus berhutang-nya ke luar negeri?

Padahal semua bahan kebutuhan mentahnya ada di Indonesia, bisa diproduksi di Indonesia, dengan sumber daya manusia semua dari Indonesia. Tapi kenapa harus hutang ke IMF di luar negeri?

Indonesia itu sebenarnya miskin atau kaya?

Tidak hanya itu, dari sisi sumber daya manusia, kita punya arsitek kelas dunia, insinyur hebat, teknisi hebat, dan tenaga kerja muda produktif yang saat ini banyak menganggur.

Mungkin beberapa aspek masih membutuhkan bantuan luar negeri, tapi harusnya tidak butuh terlalu banyak.

Prestasi Indonesia juga banyak, Kita bisa buat pesawat sendiri, kita bisa buat kapal sendiri, kita bisa buat senjata sendiri, dan sebagainya. Jadi seharusnya kemampuan Lokal kita lebih dari mampu untuk membangun negeri. Kenapa harus utang?

Inilah dasar dari Modern Monetary Theory, atau MMT.

MMT mulai populer beberapa tahun ini, terutama sejak masa kampanye pemilu Amerika 2020 lalu. Banyak ekonom di barat sana membahas tentang MMT, baik dari sisi positif, maupun negatif. Ekonom yang populer membahas tentang MMT adalah Stephanie Kelton dan Michael Hudson. Mereka juga menjadi konsultan MMT bagi Amerika serikat, China, dan Jepang.

Secara umum, MMT adalah metode bagi pemerintah atau bank sentral untuk mencetak atau menerbitkan uang baru melalui kebijakan fiskal, dengan tujuan menggerakan mesin ekonomi melalui sektor produktif seperti proyek konstruksi atau perdagangan internasional yang mendatangkan devisa bagi negara.

Konsep mencetak uang ini dilakukan oleh China sejak 30 tahun lalu, dan sukses menjadikan negaranya raksasa ekonomi dunia. Dengan MMT, China berhasil bangkit dari keterpurukan ekonomi dan kemiskinan hanya dalam satu generasi saja.

Perdebatan MMT dari para ekonom mainstream

Pada umumnya, teori ekonomi yang dipelajari di bangku sekolah dan kampus diseluruh dunia disebut “Mainstream Economic Theory”. Tokoh teori ekonomi ini seperti J.M. Keynes (Keynessian), Adam Smith, Alfred Marshall, David Ricardo, Robert Malthus,  dll. Kamu pasti kenal dengan beberapa nama-nama ini.

Sederhananya, teori ini membahas supply, demand, harga produk, serta pengaruh jumlah uang beredar terhadap inflasi.

Selain itu, pendapat yang umum dalam  teori ekonomi ini adalah apabila ada terlalu banyak uang dicetak dalam suatu negara, maka akan menimbulkan inflasi besar, hutang yang membengkak, bunga yang tinggi, dan berpotensi menjadikan negara tersebut negara bangkrut atau negara gagal (Failed State).

Oleh karena itu para penganut ekonomi mainstream (sarjana dan profesor ekonomi pada umumnya) akan langsung menentang MMT, atau ide cetak uang untuk meningkatkan pertumbuhan dan produktifitas ekonomi.

Ketakukan terhadap cetak uang bagi negara adalah:
Cetak uang pasti akan menimbulkan inflasi.
Cetak uang pasti berhutang.
Berhutang pasti berdampak pada bunga yang terus bertumbuh.
Terlalu tinggi inflasi dan utang, berpotensi menjadikan negara bangkrut.
Cetak uang haram dan tidak sesuai dengan ekonomi syariah

Ekonom MMT: Cetak Uang Yang Benar Tidak Bikin Inflasi!

Penganut teori MMT berpendapat bahwa cetak uang jika dilakukan dengan benar dan terstruktur, tidak akan menimbullkan inflasi. Inflasi adalah suatu keadaan dimana perbandingan jumlah uang dicetak dengan produksi tidak sebanding.

Jika uang dicetak sembarangan, terutama untuk tujuan konsumtif, maka cetak uang memang betul akan berpotensi menimbulkan inflasi. Namun jika uang dicetak untuk meningkatkan sektor porduktif dalam negeri, dan menambah devisa negara, maka inflasi bisa tetap stabil dan terjaga.

Inilah yang konon katanya dilakukan negara China. Uang yang dicetak pemerintah China membantu pergerakan ekonomi dalam negeri, dengan cara membangun sektor produktif, terutama pabrik dan infrastruktur.

Saat itu, china punya banyak tenaga manusia, dan sumber daya alam. Alih-alih berhutang pada IMF untuk mendapatkan dana, mereka memilih cetak uang mereka sendiri. Sehingga, mereka tidak perlu menambah beban utang negara, dan tetap memiliki uang cash untuk menjalankan sektor produksi dan menggerakan roda ekonomi dengan lebih produktif.

Benarkah ini merupakan salah satu rahasia yang membuat negara China bisa bangkit dari kemiskinan dalam kurun waktu kurang dari 30 tahun?

Iklan ada di sini

Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim